SIARAN PERS: Dioksin dan PCB Penyebab Kanker Mengancam Pasokan Makanan dan Kesehatan Manusia Secara Global

SIARAN PERS: Dioksin dan PCB Penyebab Kanker Mengancam Pasokan Makanan dan Kesehatan Manusia Secara Global

SIARAN PERS

2 Juni 2022, GOTHENBURG/PRAGUE/JAKARTA/YAOUNDE/LIBREVILLE/NAIROBI – Sebuah studi baru dengan data dari Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Utara dan Selatan telah mennjukkan bahwa senyawa dioksin dan polychlorinated biphenyl (PCBs) terus meracuni pasokan makanan, pada konsentrasi yang menimbulkan ancaman kesehatan yang serius. Senyawa-senyawa ini menjadi penyebab kanker dan diproduksi secara tidak sengaja ini telah diatur di negara-negara maju sejak 1990-an dan secara internasional sejak 2004. Analisis tinjauan sejawat (peer-review) yang diterbitkan dalam jurnal Emerging Contaminants menemukan pada hampir 90% area studi, tingkat konsentrasi dioksin dan PCB-mirip-dioksin pada telur ayam kampung melebihi standar keamanan pangan Uni Eropa.

Dioksin (atau dengan nama senyawa lengkap polychlorinated dibenzo-p-dioxins dan furans, PCDD/Fs) adalah kelas bahan kimia penyebab kanker yang timbul dari industri kimia, dengan pembakaran sampah atau limbah, dalam proses industri metalurgi dan industri lain. Senyawa ini termasuk diantara senyawa yang paling beracun yang diketahui sejauh ini. PCB telah digunakan selama beberapa dekade dalam peralatan listrik, sebagai pemlastis, serta aplikasi industri lainnya. PCB juga dapat ditimbulkan secara tidak sengaja pada proses yang serupa dengan lepasan dioksin. Kedua kelompok bahan kimia ini termasuk di antara senyawa yang disebut “dirty dozen” (atau selusin senyawa kotor) yang sudah dilarang dan/atau diatur secara global di bawah Konvensi Stockholm sejak 2004.

Namun studi baru menunjukkan bahwa, dua dekade kemudian, dioksin dan PCB seperti dioksin masih menjadi ancaman kesehatan lingkungan di seluruh dunia. Dioksin dan PCB adalah polutan organik persisten (POPs) yang persisten di lingkungan, terakumulasi di makhluk hidup, menciptakan polusi yang tersebar luas di lingkungan secara global, dan diketahui menyebabkan masalah lingkungan dan kesehatan serius.

“Warisan racun dari dioksin dan PCB terus menempatkan anak-anak dan keluarga dalam risiko,” kata Jindrich Petrlik, penasihat IPEN untuk dioksin dan limbah, Direktur Program Arnika dan penulis utama studi ini. “Kami sangat membutuhkan batasan konsentrasi POPs rendah yang lebih ketat dalam pengaturan limbah, serta implementasi Konvensi Stockholm yang lebih baik untuk melindungi kesehatan dan lingkungan kita dari ancaman senyawa kimia dalam jangka panjang.”

Studi ini meneliti lokasi yang berpotensi terkontaminasi oleh dioksin dan PCB pada ‘titik panas’ di sekitar insinerator limbah, pabrik metalurgi dan semen, tempat pembuangan sampah, situs limbah elektronik, pabrik kimia, serta fasilitas lainnya. Studi ini meninjau data dari 113 analisis sampel telur dari lokasi-lokasi tersebut serta data yang relevan dari literatur ilmiah lainnya. Hasilnya menemukan bahwa:

  • 88% sampel telur berada di atas ambang batas keamanan Uni Eropa baik untuk dioksin atau pun total dari dioksin dan PCB-mirip-dioksin –
    Anak-anak yang mengkonsumsi telur-telur ini akan terpapar dosis yang lebih tinggi dari batasan dosis mingguan yang dapat diterima pada regulasi keamanan pangan Uni Eropa, untuk dioksin dan/atau total dioksin ditambah PCB-mirip-dioksin.
  • 92% sampel telur yang dikumpulkan dari daerah dekat insinerator melebihi standar keamanan pangan.
  • 100% sampel telur yang dikumpulkan dari area dekat lokasi industri logam dan fasilitas daur ulang limbah elektronik melebihi standar keamanan pangan.
  • 14% sampel telur melebihi 10 kali lipat dari standar keamanan. Salah satu sampel dari lokasi limbah elektronik di Ghana mengandung kontaminasi tertinggi yang pernah terdeteksi (264 kali lebih tinggi) dari standar keamanan untuk dioksin.

Telur seringkali diproduksi secara lokal di negara berkembang dan merupakan sumber makanan penting karena murah dan bergizi tinggi. Telur juga merupakan jalur utama bagi manusia untuk terpapar bahan kimia beracun. Telur merupakan biomarker sensitif dari kontaminasi lingkungan umum, terutama kontaminasi tanah, di mana ayam cenderung memakan kontaminan senyawa kimia beracun.

Selain di sekitar wilayah industri, telur yang terkontaminasi juga ditemukan beberapa lokasi tempat pembakaran plastik. Abu dari proses insinerasi atau metalurgi adalah sumber yang umum pada kontaminasi tanah, namun standar pada Konvensi Basel untuk “batas bawah” POPs masih memungkinkan konsentrasi dioksin yang sangat tinggi. Para penulis studi menyatakan bahwa berdasarkan standar saat ini, satu kilogram abu yang mengandung dioksin dengan konsentrasi sesuai standar dapat membuat 7,000 kilogram (7 ton) tanah menjadi tidak layak untuk produksi telur ayam kampung. Para penulis juga melaporkan bahwa jumlah dioksin yang dilepaskan dari abu tiap tahunnya melebihi tingkat konsumsi aman dioksin untuk seluruh manusia hingga 133 kali lipat.

Minggu ini, negosiasi Perjanjian Plastik juga melaksanakan pertemuan di Senegal. Dimulai sejak 6 Juni, pihak-pihak dalam Konvensi Stockholm dan Basel akan bertemu di Jenewa, sehingga dapat mengadopsi batas yang lebih ketat untuk dioksin dan PCB-mirip-dioksin. Arnika dan IPEN mendukung proposal dari 53 negara regional Afrika untuk mengatur batas konsentrasi POPs rendah (low POPs content level / LPCL) yang lebih ketat untuk dioksin pada sampah dan limbah. Konvensi Stockholm juga harus menetapkan target penghapusan penggunaan PCB pada tahun 2025, serta mengidentifikasi aspek pembuangan PCB secara global pada 2028. Walaupun estimasi saat ini masih menunjukkan bahwa 80% dari senyawa ini masih belum dapat dihapuskan secara total.

Sebuah studi terbaru juga menunjukkan bahwa kontaminasi senyawa secara global telah terjadi melebihi polusi “berbatas planet”. Sebagiannya menunjukkan bahwa terdapat kontribusi dari produksi dan pembuangan plastik, khususnya lepasan POPs dari proses pembakaran sampah plastik. “Negosiasi yang akan datang di Jenewa serta Perjanjian Plastik akan menghadirkan peluang penting bagi dunia untuk mengambil tindakan secepatnya demi perlindungan kesehatan dan planet kita,” kata Petrlik. “Proposal LPCL dari negara-negara Afrika harus diadopsi dan kita harus menyusun Perjanjian Plastik yang mendorong inovasi terhadap bahan yang lebih aman, serta menyediakan jalur untuk menghilangkan produksi plastik yang mengandung bahan kimia beracun secepatnya.”

Rekomendasi-rekomendasi lain dari penelitian ini meliputi:

  • Memperkuat peraturan untuk standar baku pada kontaminasi tanah, pupuk, bahan tambahan tanah lain, pencegahan pencemaran tanah melalui perbaikan pengelolaan bahan kimia dan limbahnya, serta pengelolaan tanah yang terkontaminasi.
  • Pengurangan penggunaan plastik secara keseluruhan, serta pengelolaan plastik yang ramah lingkungan pada akhir masa pakainya yang dilengkapi dengan pembatasan ekspor limbah plastik dan elektronik, sebagaimana disyaratkan pada Konvensi Basel.
  • Penilaian sistematis terhadap bekas lokasi kawasan industri dan lokasi relevan lainnya terhadap kontaminasi di semua negara, serta pemantauan paparan ke manusia pada sekitar lahan terkontaminasi, dengan cara pengembangan kapasitas dan dukungan untuk negara berkembang.
  • Peningkatan pengelolaan limbah mengandung POPs dan pelacakan polusi dari siklus hidup POPs.
  • Kompensasi bagi petani dan penduduk yang terdampak dengan menerapkan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).

Kontak:

RNDr. Jindrich Petrlik, Direktur Program, Arnika – Program Racun dan Limbah, penasehat IPEN untuk dioksin dan limbah, +420.603582984 jindrich.petrlik@arnika.org

Yuyun Ismawati, Penasihat Senior, Nexus3 Foundation, +447583768707, yuyun@nexus3foundation.org